Untuklebih jelasnya mari kita simak ulasan berikut ini dengan seksama. Daftar Isi [ sembunyikan] 1 Macam Macam Nafkah Dalam Islam. 1.1 A. Nafkah Kepada Diri Sendiri. 1.2 B. Nafkah Ushul Kepada Furu’. 1.2.1 Syarat-syarat diwajibkan nafkah kepada furu’ atas ushul. 1.3 C. Nafkah Furu’ Kepada Ushul.Perbedaan pendapat dalam agama pun merupakan sesuatu yang sangat biasa di dalam Islam dan tidak perlu dipusingkan, apalagi dijadikan permasalahan. Bila kita membaca sirah Rasulullah SAW, semasa hidupnya, tidak mengingkari adanya perbedaan para sahabat dalam memahami apa yang dikatakannya. Malahan, Rasulullah kerapkali membenarkan dua pendapat yang berbeda-beda, selama tidak bertentangan dengan dalam sebuah riwayat yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, terkait Rasulullah pernah mengutus beberapa orang sahabat berkunjung ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, Rasul berpesan, “Kalian jangan shalat ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Singkat cerita, di tengah perjalanan, Para sahabat yg diutus tersebut terpecah kepada dua kelompok dalam memahami pesan Nabi ini. Ada yang memahami secara substansial atau kontekstual. Dan ada pula yang memahaminya secara literal dan tekstual. Dikarenakan tidak ada titik temu,kedua belah pihak akhirnya mengadu kepada Rasul. Setelah mendengar penjelasan mereka, Rasul membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan salah saat ini, kita sering mendengar seseorang atau tokoh atau kelompok yang mengatasnamakan Islam, tapi kemudian mengkafirkan kelompok atau mazhab yang tidak sependapat dengan mereka. Setiap yang berbeda dengan mereka langsung divonis sesat, bid’ah, kafir dan telah keluar dari ini mengklaim bahwa kebenaran hanya ada pada kelompok mereka. Mereka seringkali tidak mampu membedakan mana persoalan-persoalan yang bersifat ushul/pokok dalam agama, dan mana persoalan yang termasuk furu’/cabang dalam agama persoalan yang bukan prinsip dasar dalam agama yang sifatnya ijtihadi serta masih boleh juga tidak mengenal adanya istilah ijtihad mustaqil, ijtihad muthlaq, ijtihad mazhabi, ijtihad parsial, ijtihad kolektif dan lain sebagainya. Mereka juga tidak paham mana saja batasan-batasan kulli dan juz’i, qath’i dan zhanni apakah itu Qath’iyyuts Tsubut dan Qath’iyyud Dalalah ataupun Zhanniyyuts Tsubut dan Dalalah baik dalam aspek akidah, fiqih, tasawwuf dan lain sebagainya. Padahal, Islam itu luas dan tidak sesempit yang mereka bagaimana seharusnya menyikapi persoalan-persoalan demikian? Tentunya kita harus mampu mengenal mana saja batasan-batasannya. Kita coba ambil contoh terkait batasan ushul dan furu’ ataupun qath’i dan zhanni dalam ranah akidah dan misalnya. Menurut Imam al-Ghazali, hanya ada tiga yang menjadi urusan ushul/pokok didalamnya. Apabila ada orang yang menentangnya maka seketika itu dapat menyebabkan dia keluar dari agama Islam. Tiga hal pokok/ushul itu adalah Iman kepada Allah, Iman kepada Rasul atau utusan-Nya, dan Iman kepada hari Hari dari itu masuk ke dalam kategori furu’/cabangnya. Lalu bagaimana penentangan terhadap masalah akidah yang masuk dalam kategori furu’/cabang? Menurutnya Imam al-Ghazali hanya menyebabkan penentangnya menjadi sesat melakukan bid’ah, tidak sampai menjadi kafir atau keluar dari agama saja perkara yang termasuk furu’ dalam persoalan akidah? Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi pernah menjawab bahwa kategori yg termasuk far’i adalah masalah-masalah juz’i tentang keyakinan/akidah yang tidak mempunyai dalil qath’i. Misalnya, kebangkitan manusia untuk kedua kalinya, apakah setelah habis seluruhnya atau setelah bercerai-berai? Atau pembahasan terkait sifat “Sama’ dan Bashar” nya Allah. Apakah dua sifat itu berhubungan dengan semua hal yang wujud ataukah hanya berhubungan dengan sesuatu yang bisa didengar dan dilihat saja? Nah, persoalan-persoalan ini termasuk kategori furu’ dalam akidah yang masih bisa diperselisihkan. Dan masih banyak contoh teks pernyataan al-Imam al-Ghazali tadi bisa kita baca dalam karyanya, Faishalut-Tafriqah yang berbunyi Ketahuilah bahwa mengenai sesuatu yg dapat membuat kufur dan yang tidak, memerlukan penjelasan yg sangat panjang. Perlu juga utk menjelaskan setiap pendapat dan setiap mazhab. Perlu juga menjelaskan setiap syubhat/kerancuan dari masing-masing serta dasar-dasarnya baik dari segi zahir maupun takwilnya. Hal ini tdk cukup meski dg berjilid jilid kitab, dan waktuku juga tidak cukup utk oleh karena itu, kata beliau sekarang terimalah sebuah pesan dan satu ketentuan yang sangat penting yaitu“Tahan mulut agar jangan sampai mengkafirkan ahli kiblat/muslim dengan semampumu, selagi mereka masih mengatakan dan meyakini kalimat tauhid LA ILAHA ILLALLAH, MUHAMMADUN RASULULLAH dan mereka tidak mendustakan Rasulullah SAW. Sungguh, mengkafirkan sesama muslim itu sangatlah berbahaya, sementara diam dari itu tidaklah berbahaya.”Tampaknya, pendapat al-Imam al-Ghazali ini dalam konteks mempersatukan umat Islam. Sehingga langkah untuk membangun kerjasama dan dialog antar-mazhab dan aliran akan lebih mudah. Dengan demikian, perpecahan yang mengancam ketentraman umat Islam bisa dihindari sedini mungkin. Dan beliau sangat mengerti akan bahaya dan dampak dari mengkafirkan sesama muslim, terlebih lagi menumpahkan darah sesama As-Subki pun pernah berkata, “Selagi seseorang meyakini dua kalimat syahadat, maka seketika itu dia sulit untuk dikafirkan”. Selain itu, Imam Az-Zahabi dalam kitabnya Siyar A`lamin Nubala’ menceritakan bahwa gurunya yang bernama Ibn Taimiyah pernah berkata di akhir hayatnya, “Aku tidak mengkafirkan siapapun dari umat Islam”.Adapun persoalan selanjutnya dalam ruang lingkup fikih, Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa pernah berkomentar, bahwa yang masih bisa dilakukan ijtihad adalah hukum syar’i yang tidak memiliki dasar pasti dalil qath’iy dan masih bersifat zhonni. Bila terjadi kesalahan ijtihad dalam hal ini maka tidaklah berdosa. Adapun kewajiban salat 5 waktu, puasa, kewajiban membayar zakat, naik haji, serta hal-hal yang sudah disepakati ummat, yang memiliki dalil Qathi, maka tidak boleh dilakukan ijtihad dan berdosa menentangnya. Beliau juga menegaskan tidak ada pengafiran sama sekali di dalam masalah furu`, kecuali satu masalah, yaitu mengingkari ajaran agama yang diketahui dari Rasulullah secara mutawatir ma `ulima fi al-din bi al-dharurah.Namun sangat disayangkan banyak yang gagal paham dalam memahami batasan-batasan qath’iy-zhanni dalam persoalan fikih ini. Sehingga tak jarang terjadi pertikaian di tengah masyarakat dengan “mengkambing-hitamkan” mazhab fikih sebagai biang keladi penyebab perselisihan tersebut. Padahal, bagaimanapun banyaknya perbedaan pendapat dalam mazhab fikih sejak awal tumbuhnya sampai saat ini sejatinya hal itu tidak sampai menimbulkan perpecahan dan perkelahian di internal umat Islam. Justeru mazhab-mazhab ini muncul dari dasar tolong menolong terhadap fiqih, dan dari pengambilan yang disimpulkan dari dasar yang kokoh dan kira-kira beberapa contoh dalam melihat batasan-batasan dan perbedaan pendapat pada aspek akidah dan fiqih. Hal itu tentu membawa pesan tersirat kepada kita untuk lebih bijak dalam melihat segala sesuatunya serta tidak mudah cepat-cepat memvonis sesat atau kafir terhadap seseorang atau kelompok dan sebagainya. Jika dalam aspek akidah dan fiqih saja ada perkara ushul dan furu`, qath’iy dan zhanniy, apalagi dalam aspek tak perlu heran bila kemudian banyak terjadi ijtihad, perbedaan dan perkembangan metodologi, serta corak aliran dalam dunia sufi. Ada namanya tasawwuf amali, tasawwuf akhlaqi, tasawwuf falsafi, zauqiy dan sebagainya. Begitu pula dengan tarekat, ada banyak macam-macam tarekat di dunia setelah melalui proses ta’sis, tajdid pembaharuan, bahkan jam`uth thuruq penggabungan dari beberapa tarekat shufiyyah yang dilakukan oleh sufi-sufi tertentu sepanjang karenanya, yang harus kita sadari adalah bahwa perbedaan-perbedaan dalam mazhab, aliran dan pemikiran itu tidak perlu disamakan menjadi satu format, satu bentuk dan sistem. Dalam kitab Al-Inshaaf fi Asbab al-Ikhtilaf diceritakan pernah ada kisah tentang Imam Malik bin Anas, pengarang kitab al-Muwaththa’ sekaligus guru dari Imam Syafii. Diceritakan bahwa penguasa waktu itu hendak menggantungkan kitab Al-Muwathta’ tersebut di Ka’bah agar umat Islam dalam menentukan hukum dapat merujuk kepada satu rujukan saja, serta agar tidak terjadi perbedaan pendapaat di kalangan umat ketika apa sikap dan respon Imam Malik ketika itu? Ia justeru menolak rencana itu. Beliau menegaskan, “Jangan !!! Karena para sahabat Rasulullah SAW pun berbeda pendapat dalam masalah furu’iyyah agama, sedangkan mereka telah tersebar di berbagai negara”. Nah, dalam hal ini Imam Malik bin Anas begitu menyadari bahwa perbedaan pendapat baik dalam hal menafsirkan, memahami, dan sebagainya adalah sebuah pendapat merupakan bentuk rahmat dari Allah. Makanya Ibn Abidin dalam kitabnya, Ad-Durrul Mukhtar mengatakan, “Perbedaan merupakan salah satu dari pengaruh rahmat. Semakin banyak ikhtilaf, maka semakin banyak pula rahmat yang didapat”. Sebagaimana juga banyak riwayat-riwayat hadis Nabi yang mengatakan tentang Ibnu Taimiyah juga pernah menegaskan dalam kitabnya Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah. Apa kata beliau? “Kita diperintahkan untuk adil dan objektif. Jika Yahudi atau Nasrani, apalagi Syiah Rafidhi mengucapkan sesuatu yang disitu terdapat sisi kebenarannya, maka kita tidak boleh menolak atau meninggalkan semua sisi kebenaran itu”.Dan dalam kitabnya Majmu’ Fatawa, Imam Ibnu Taimiyah juga mengatakan bahwa, “Berpegang teguh pada persatuan dan saling mengasihi, merupakan pokok/ushul agama. Sedangkan masalah furu’/cabang agama yang diperselisihkan adalah termasuk dari bagian-bagian masalah furu’ yang kecil. Maka bagaimana mungkin kita akan melalaikan yang pokok/ushul hanya karena menjaga masalah-masalah yang sifanya cabang/furu’ belaka?”.Oleh karena itu kita harus bijak dalam beragama. Harus mampu memilah dan memilih mana perkara yang sifatnya ushul dan mana yang furu’ yang tidak perlu diperdebatkan. Mana yang qath’i dan mana yang zhanni. Jangan terlalu mudah menyesatkan dan mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dan pemahaman dengan kita padahal dia masih saudara seiman dan masih dalam naungan kalimat tauhid yang SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhariمن رمى مؤمنا بكفر فهو كقتله“Barangsiapa yang menuduh kafir pada seorang mukmin, maka hal itu sama dengan membunuhnya”.Dalam hadis lain juga dikatakan sebagaimana riwayat al-Bukhari dan Muslimإذا قال الرجل لأخيه يا كافر، فقد باء بها أحدهما“Jika seseorang berkata kepada saudaranya, “Hai orang kafir…” maka kekafiran itu sejatinya kembali pada salah satu dari keduanya”.Terakhir, ada pertanyaan yang berulang-ulang dipertanyakan tentang bagaimana seharusnya sikap kita dalam membangun dialog dengan non-Muslim atau orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita?Untuk menjawab hal ini agaknya perlu kembali mengingat sejarah atau Sirah Nabi Muhammad SAW. Dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Katsir dikatakan Bahwasanya Rasulullah SAW tidak menutup pintu dialog dengan orang-orang musyrik, orang Yahudi maupun orang Nasrani. Bahkan, beliau pernah melakukan dialog dengan golongan-golongan ini di tengah-tengah masjid berdialog dengan beliau di dalam masjid tersebut, bahkan Nabi SAW pernah membiarkan orang-orang Nasrani melakukan ibadah di masjid beliau dan orang-orang musyrik pun pernah memasuki masjid di masa hidupnya. Disebutkan, tatkala utusan Nasrani Najran datang dan tibalah waktu salat Ashar, mereka pun melakukan ibadah ke arah Timur waktu itu, Nabi pun berkata kepada para Sahabat, “Biarkanlah mereka”.Begitulah sikap Nabi SAW dalam membangun dialog dengan mereka yang berbeda keyakinan dengannya. Beliau tetap menghargai dan menghormati keyakinan orang lain dengan tetap mengedepankan dialog antar umat beragama. Ya, memang ada batasan-batasan yang diajarkan dalam Islam. Misalnya dalam persoalan akidah atau tauhid memang tidak perlu lagi diotak atik dan itu merupakan sebuah keniscayaan dalam beragama. Sebagaimana dalam al-Quran, “Lakum dinukum wa liyadin”. Bagimu agamamu, dan bagiku kita berbeda keyakinan dalam aspek akidah atau tauhid, tapi tentu hal itu tidak menghalangi kita kaum muslimin dengan umat agama lain dalam hal menjalin interaksi sosial, hubungan ekonomi, politik dan budaya sekalipun. Maka dalam hal ini, saling menghargai dan menghormati antar sesama dalam koridor kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara perlu dipertahankan. Dalam hal ini pula ada istilah ukhuwwah islamiyah, ukhuwwah wathaniyyah dan ukhuwwah basyariyyah. Persaudaraan sesama muslimin, persaudaraan sebangsa setanah air, dan persaudaraan sesama manusia. SeorangMuslim tidak boleh berbeda pendapat dalam masalah - masalah ushul, atau perkara - perkara yang dalilnya qath’iy (pasti), baik dalam masalah hukum dan aqidah. Seorang Muslim tidak boleh tasamuh (toleran) terhadap pendapat yang jelas - jelas menyimpang. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa dalil - dalil yang qath’iy (pasti), tidak
Assalaamu 'Alaikum Wa Rohmatullaahi Wa Barokaatuh ... Bismillaah Wal Hamdulillaah ... Wash-sholaatu Was-salaamu 'Alaa Rasuulillaah ... Wa 'Alaa Aalihi Wa Shohbihi Wa Man Waalaah ... Salah satu penyebab Takfir antara kaum muslimin dari aneka ragam Madzhab dan Firqoh adalah ketidak-mampuan kebanyakan awam umat Islam dalam membedakan antara Ushuluddin dan Furu’uddin. Ushuluddin adalah pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang sangat prinsip dan amat mendasar serta fundamental, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq, karena berdiri di atas dalil qoth’i yang mutlak benar, yaitu yang keyakinan kebenarannya mencapai tingkat kepastian, sehingga tidak diperkenankan adanya perbedaan. Setiap perbedaan dalam Ushul merupakan Inhiraf yaitu penyimpangan yang wajib diluruskan. Sedang Furu’uddin adalah cabang-cabang / ranting-ranting ajaran agama Islam yang sangat penting tapi tidak prinsip dan tidak mendasar serta tidak fundamental, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq, karena berdiri di atas dalil zhonni yang tidak mutlak benar, yaitu yang keyakinan kebenarannya tidak mencapai tingkat kepastian, sehingga diperkenankan adanya perbedaan selama ada dalil syar’i yang mu’tabar. Setiap perbedaan dalam Furu’ merupakan Ikhtilaf yaitu khilafiyah yang wajib dihargai. Baik Ushuluddin mau pun Furu’uddin sama-sama harus berdiri di atas Dalil Syar’i, Jika tidak ada Dalil Syar’i, maka menjadi Penyimpangan, baik dalam Ushul mau pun Furu’. Karenanya, peranan Dalil Syar’i dalam Ushul dan Furu’ sangat penting dan amat menentukan. PERAN USHUL DAN FURU’ Karenanya, memahami Ushuluddin dan Furu’uddin merupakan kunci untuk mengetahui mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip dalam ajaran Islam, guna memudahkan pemilahan antara perbedaan dan penyimpangan agama, sehingga menjadi dasar penyikapan yang benar untuk toleransi menghargai terhadap perbedaan atau tegas meluruskan terhadap penyimpangan. Problemnya, banyak kalangan awam umat Islam tidak mampu membedakan antara Ushul dan Furu’. Ada kelompok yang melihat Ushul sebagai Furu’, sehingga mereka toleransi terhadap Penyimpangan Ushul karena dianggap sebagai Perbedaan Furu’. Contoh kasusnya adalah kelompok Islam yang sangat toleran dan bersahabat terhadap aliran Ahmadiyah yang telah nyata melakukan Penyimpangan Ushul, karena dianggap hanya Perbedaan Furu’, sehingga yang seharusnya mereka bersikap tegas meluruskan terhadap penyimpangan, justru mereka jadi bersikap toleransi menghargai terhadap penyimpangan tersebut karena dianggap perbedaan. Sebaliknya, ada lagi kelompok yang melihat Furu’ sebagai Ushul, sehingga mereka tidak toleransi terhadap Perbedaan Furu’ karena dianggap sebagai Penyimpangan Ushul. Contoh kasusnya adalah kelompok Islam yang mudah menyesatkan bahkan mengkafirkan saudara muslim lainnya hanya lantaran Perbedaan Furu’, baik dalam soal Furu’ Aqidah seperti masalah Tawassul dan Tabarruk, mau pun dalam soal Furu’ Syariah seperti Qunut Shubuh dan Peringatan Maulid Nabi SAW, karena dianggap sebagai Penyimpangan Ushul, sehingga yang seharusnya mereka bersikap toleransi menghargai terhadap perbedaan, justru mereka jadi bersikap tegas meluruskan terhadap perbedaan tersebut karena dianggap penyimpangan. Oleh sebab itu, umat Islam wajib berkemampuan untuk melakukan pemilahan antara Ushul dan Furu’, agar mampu membedakan antara perbedaan dan penyimpangan, sehingga menjadi lurus dan benar dalam bersikap. Pemilahan Masalah ke dalam Ushul atau Furu’ bergantung kepada Nilai Hujjah yaitu kekuatan dalil. Ada pun Nilai Hujjah suatu Dalil bergantung kepada jenis dalil baik dari segi Wurud mau pun Dilalah. NILAI HUJJAH Dari segi Wurud yaitu bagaimana datangnya suatu Dalil Syar’i kepada kita terbagi menjadi Dua Nilai Hujjah 1. Setiap dalil yang bersifat Mutawatir, yaitu Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir, maka nilai hujjahnya adalah Qoth’i secara Wurud. 2. Setiap dalil yang bersifat Ahad, yaitu semua hadits Ahad, maka nilai hujjahnya adalah Zhonni secara Wurud. Dan dari segi Dilalah yaitu bagaimana suatu dalil menunjukkan kepada suatu hukum, maka nilai hujjahnya juga terbagi Dua Nilai Hujjah 1. Setiap dalil yang Mono Tafsir atau Mono Ta’wil, yaitu yang hanya mengandung satu makna, maka nilai hujjahnya Qoth’i secara Dilalah. 2. Setiap dalil yang Multi Tafsir, yaitu yang mengandung lebih dari satu makna, maka nilai hujjahnya Zhonni secara Dilalah. METODOLOGI PEMILAHAN USHUL DAN FURU Selanjutnya, Metodologi Pemilahan masalah kepada Ushul dan Furu’ secara singkat adalah sebagai berikut 1. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Qoth’i, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Ushuluddin. Contoh Firman Allah dalam ayat 1 tentang Keesaan Allah SWT merupakan Dalil Qoth’i secara Wurud karena berupa Ayat Al-Qur’an, dan Qoth’i juga secara Dilalah karena Mono Tafsir, maka hal ini merupakan masalah Ushuluddin. Karenanya, dalam hal Keesaan Allah SWT tidak boleh ada perbedaan pendapat antara Madzhab Islam. Barangsiapa menolak Keesaan Allah SWT, maka ia menyimpang dan tersesat bahkan kafir dan keluar dari Islam, karena Ushuluddin merupakan Ushul Islam. 2. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Zhonni, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Furu’uddin. Contoh Hadits Nabi SAW dalam Sunan Abi Daud hadits dan Sunan An-Nasaa-i hadits ke tentang perintah / anjuran membaca Surat Yaasiin atas ”Mautaa” merupakan Dalil Zhonni secara Wurud karena berupa Hadits Ahad, dan Zhonni juga secara Dilalah karena Multi Ta’wil, dimana kata ”Mautaa” bisa berarti orang yang sedang sekarat, dan bisa juga bermakna orang yang sudah meninggal dunia, maka hal ini merupakan masalah Furu’uddin. Karenanya, umat Islam berbeda pendapat dalam soal ini, ada yang menyatakan bahwa Surat Yasin dibaca atas orang yang sekarat bukan yang sudah meninggal dunia, tapi ada juga yang berpendapat sebaliknya bahwa Surat Yasin dibaca atas orang yang sudah meninggal dunia bukan yang sedang sekarat, lalu ada juga yang membolehkan keduanya. 3. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Qoth’i dari segi Wurud, namun bernilai Zhonni dari segi Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Furu’uddin. Contoh Firman Allah dalam 43 dan 6 tentang salah satu yang membatalkan wudhu adalah ”Laamastumun Nisaa” merupakan Dalil Qoth’i secara Wurud karena berupa Ayat Al-Qur’an, namun Zhonni secara Dilalah karena Multi Tafsir, dimana ada yang menafsirkannya ”menyentuh perempuan” dengan sentuhan biasa, yaitu kulit bertemu dengan kulit, dan ada pula yang menafsirkannya ”menggauli perempuan”, maka hal ini merupakan masalah Furu’uddin. Karenanya, Ulama berbeda pendapat dalam soal ini, ada yang menyatakan bahwa menyentuh perempuan yang bukan mahram membatalkan wudhu secara mutlak, tapi ada yang mensyaratkan menyentuhnya dengan sengaja, dan ada lagi yang mensyaratkan menyentuhnya dengan syahwat, lalu ada juga yang menyatakan menyentuh saja tidak membatalkan wudhu tapi menggaulinya yang membatalkan wudhu. 4. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Zhonni dari segi Wurud, namun bernilai Qoth’i dari segi Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Ushul Madzhab. Contoh Hadits Nabi SAW tentang pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur merupakan Dalil Zhonni secara Wurud karena berupa Hadits Ahad, namun Dalil Qoth’i secara Dilalah karena Mono Ta’wil, maka hal ini merupakan masalah Ushul Madzhab. Aswaja menjadikan iman kepada adanya pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur sebagai Ushul Madzhab Aswaja, karena bagi Aswaja bahwa Hadits Ahad selama Shahih maka wajib dijadikan dalil dalam Aqidah mau pun Hukum. Sedang Mu’tazilah menolaknya, karena bagi Mu’tazialh bahwa masalah Aqidah tidak boleh menggunakan Hadits Ahad karena nilainya Zhonni, sehingga Mu’tazilah tidak percaya adanya pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur. Disini, Mu’tazilah tidak boleh divonis Kafir lantaran persoalan ini, tapi cukup dikatakan bahwa Mu’tazilah bukan Aswaja. USHUL FURU’ DALAM AQIDAH, SYARIAH DAN AKHLAQ Ushuluddin sering diidentikkan dengan Aqidah, karena kebanyakan masalah Ushul adalah masalah Aqidah. Sedang Furu’uddin sering didentikkan dengan Syariat, karena kebanyakan masalah Furu’ adalah masalah Syariat. Namun sebenarnya, dalam Ushuluddin ada masalah Aqidah mau pun Syariat, bahkan Akhlaq. Begitu juga dalam Furu’uddin juga ada masalah Aqidah mau pun Syariat, bahkan Akhlaq. Karenanya, dalam Aqidah dan Syariat mau pun Akhlaq ada masalah Ushul yang tidak boleh berbeda dan ada juga masalah Furu’ yang boleh berbeda. Itulah sebabnya, ada istilah-istilah Ushul Aqidah dan Furu Aqidah, Ushul Syariat dan Furu’ Syariat, Ushul Akhlaq dan Furu Akhlaq. Para Ulama Salaf mau pun Khalaf, tidak pernah berbeda pendapat dalam masalah Ushul, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. Namun mereka ada berbeda pendapat dalam masalah Furu’, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. CONTOH USHUL DAN FURU’ Beberapa contoh lain tentang Ushul dan Furu’ dalam Aqidah, Syariah dan Akhlaq, antara lain a. Dalam masalah Aqidah, Iman kepada Keesaan dan Kesucian Allah SWT yang tidak ada sekutu apa pun dan tidak ada yang seperti-Nya, dan Dia SWT tidak butuh kepada Alam Semesta ciptaan-Nya, termasuk Dzat-Nya tidak butuh kepada ruang, sudut dan waktu, merupakan masalah Ushul Aqidah. Sedang soal kemungkinan melihat Allah SWT bagi orang-orang beriman di Hari Akhir nanti, apakah dengan mata kepala sebagaimana keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau hanya melihat dengan mata hati sebagaimana keyakinan Mu’tazilah, adalah masalah Furu’ Aqidah. b. Dalam masalah Syariah, Kewajiban Shalat Lima Waktu adalah merupakan masalah Ushul Syariah. Sedang masalah Niat Shalat boleh dilafazhkan atau tidak, lalu tentang Udzur Shalat Jama’ apakah hanya terbatas pada Hujan dan Musafir, atau mencakup juga Khauf dan Sakit, atau lebih luas dari itu, semuanya merupakan masalah Furu’ Syariah. c. Dalam masalah Akhlaq, Menyintai dan Menghormati Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya serta para Shahabatnya adalah merupakan masalah Ushul Akhlaq. Namun soal memberi gelar kehormatan di depan nama mereka sebagai tanda cinta, seperti kata ”Sayyiduna” bagi yang pria dan ”Sayyidatuna” bagi yang wanita, apakah boleh atau tidak atau justru lebih afdhol, adalah merupakan masalah Furu’ Akhlaq. USHUL ISLAM DAN USHUL MADZHAB Ushul Islam adalah Ushuluddin yang mutlak tidak menerima perbedaan pendapat dengan alasan apa pun. Setiap perbedaan dalam Ushul Islam secara mutlak tidak bisa dibenarkan, dan secara mutlak pula disebut sebagai Penyimpangan Inhiraf. Dan penyimpangan dalam Ushul Islam adalah Kesesatan bahkan bisa menjadi Kekafiran, sehingga tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Barangsiapa menolak atau membangkang terhadap Ushul Islam yang telah disepakati semua Madzhab Islam maka ia keluar dari Islam, karena ia telah menyimpang dari pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang sangat prinsip dan mendasar serta fundamental. Penyimpangan sekecil apa pun tetap penyimpangan. Dan sekecil apa pun penyimpangan dalam Ushul tetap merupakan kesesatan yang mesti diluruskan. Ada pun Ushul Madzhab yaitu masalah dalam ajaran agama Islam yang diyakini sebagai Ushuluddin oleh suatu Madzhab Islam, tapi ditolak oleh Madzhab Islam yang lain, bahkan terkadang Madzhab Islam yang lain berpendapat sebaliknya, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. Dengan kata lain, Ushul Madzhab ialah pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang diyakini oleh suatu Madzhab Islam, tapi tidak diyakini oleh Madzhab Islam lainnya. Ushul Madzhab ini tidak secara mutlak menolak perbedaan pendapat, sehingga perbedaan dalam Ushul Madzhab tidak bisa dihindarkan. Perbedaan dalam Ushul Madzhab tidak mengantarkan kepada kekafiran. Barang siapa yang melanggar Ushul Madzhab maka ia tidak boleh dikafirkan atau divonis keluar dari Islam, tapi cukup disebut tidak tergolong dalam Madzhab Islam yang meyakininya sebagai Ushul. Karenanya, Ushul Madzhab dalam kontek hukumnya menyerupai Furu’uddin, sebab adanya perbedaan pandangan antar Madzhab Islam membuatnya menjadi tidak prinsip dan tidak mendasar serta tidak fundamental lagi. Perbedaan dalam Ushul Madzhab masuk katagori Khilafiyah, bukan penyimpangan, sehingga harus dihargai sebagai sebuah perbedaan. Namun demikian, masih banyak pihak yang menjadikan Ushul Madzhab sebagai Ushuluddin, sehingga mereka mengkafirkan siapa saja yang berbeda Ushul Madzhabnya. KONSEKWENSI DUA USHUL Pemilahan Ushul menjadi Ushul Islam dan Ushul Madzhab ini dimaksudkan untuk 1. Agar antar Madzhab Islam saling menjaga Ushul Islam dari segala bentuk penyelewengan. 2. Agar antar Madzhab Islam tidak saling menyesatkan, apalagi mengkafirkan dalam masalah Ushul Madzhab. Berikut beberapa contoh tentang konsekwensi pandangan tentang Ushul Islam dan Ushul Madzhab 1. Kemakhluqan Al-Qur’an ? Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah dan bukan makhluq, sedang Mu’tazilah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluq. Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Mu’tazilah, dan sebaliknya Mu’tazilah pun menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah. Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menolak kemakhluqan Al-Qur’an dipastikan bukan Mu’tazilah, dan sebaliknya yang menerima kemakhluqan Al-Qur’an dipastikan bukan Ahlus Sunnah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furu’uddin. 2. Ta’wil Ayat Sifat ? Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang Salaf mau pun Khalaf, meyakini bahwa menta’wilkan sifat-sifat Allah SWT dengan Makna Majazi dibolehkan manakala Makna Hakiki mustahil digunakan. Sedang kalangan Wahabi yang mengklaim sebagai pengikut Madzhab Salaf yang paling Aswaja, menolak ta’wil sifat-sifat Allah SWT, sehingga mereka memaknainya dengan Makna Zhohiri, bahkan terkadang cenderung dengan Makna Hakiki. Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Wahabi, dan sebaliknya Wahabi menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah. Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menerima Ta’wil Sifat dipastikan bukan Wahabi, dan sebaliknya yang menolak Ta’wil Sifat dipastikan bukan Ahlus Sunnah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furu’uddin 3. Keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin ? Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat meyakini keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, radhiyallaahu ’anhum. Sedang Syi’ah Imamiyah tidak mengakui keabsahan Khulafa Rasyidin, melainkan meyakini keabsahan Wilayah sekaligus Khilafah Dua Belas Imam yaitu Ali Al-Murtadho, Al-Hasan, Al-Husein, As-Sajjad, Al-Baqir, Ash-Shodiq, Al-Kazhim, Ar-Ridho, Al-Jawad, Al-Hadi, Al-’Askari dan Al-Mahdi, radhiyallaahu ’anhum. Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Syi’ah Imamiyah, dan sebaliknya Syi’ah Imamiyah menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah. Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menolak keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin dipastikan bukan Ahlus Sunnah, dan sebaliknya yang menerima Kekhilafahan Khulafa Rasyidin dipastikan bukan Syi’ah Imamiyah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan hanya lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furu’uddin. KESIMPULAN Perbedaan Ushul dan Furu’ sesuai dengan definisi masing-masing beserta ruang lingkup dan berbagai contoh masalahnya sebagaimana telah dipaparkan di atas secara singkat dan ringkas, maka bisa disimpulkan sebagai berikut 1. Ushul berdasarkan dalil qoth’i, sedang Furu’ berdasarkan dalil zhonni. 2. Ushul memiliki kebenaran mutlak, sedang Furu’ tidak. 3. Ushul kebenarannya mencapai kepastian, sedang Furu’ tidak. 4. Ushul harus disepakati, sedang Furu’ tidak mesti. 5. Ushul tidak menerima perbedaan, sedang Furu’ menerima. 6. Ushul tidak bisa berubah, sedang Furu’ ada yang bisa berubah. 7. Ushul sangat prinsip, mendasar dan fundamental, sedang Furu’ tidak. 8. Ushul perbedaannya disebut Inhiraf, sedang Furu’ perbedaannya disebut Ikhtilaf. 9. Ushul perbedaannya harus diluruskan, sedang Furu’ perbedaannya harus dihargai. 10. Ushul perbedaannya melahirkan Firqoh, sedang Furu’ perbedaannya melahirkan Madzhab. Dengan demikian jelas, bahwa pengetahuan tentang Ushul dan Furu menjadi sangat penting bagi umat Islam, sehingga mutlak dibutuhkan pembelajaran Metodologi Pemilahan antara Ushul dan Furu kepada kaum muslimin untuk mengetahui mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip. Untuk memenuhi kebutuhan umat tersebut, maka Alhamdulillah saya mendapat kesempatan baik untuk merampungkan Desertasi dalam bahasa Arab di University Sains Islam Malaysia USIM di Bandar Nilai – Malaysia dengan judul ”Manaahijut Tamyiiz bainal Ushuul wal Furuu’ inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah” artinya ”Metodologi Pemilahan Ushul dan Furu menurut Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah” di bawah bimbingan Guru Besar USIM bidang Ushuluddin, yaitu Nurdin Marjuni dan Abdul Malik, Hafizhohumallaahu Ta’aalaa.. Insya Allah, dalam waktu dekat akan rampung dan diujikan di USIM, untuk kemudian bisa dipublikasikan bagi kepentingan umat Islam. Alhamdulillaahi Robbil 'Aalamiin ... Sumber
Bagiyang menginginkan kitab asli dalam bahasa Arab dengan harga terjangkau (saat ini potongan 50%) silakan join channel telegram KITAB ARAB INI (klik) Syarah Ushul Tsalatsah: Syaikh Abdul Aziz bin Baaz. File Size 2.04 MB. Downloads 38285. Imam Bukhori pada Syarah Aqidah Thohawiyyah: Al-Hidayatur RabbaniyyahKita sering mendengar bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang ada keterkaitan atau hubungan dengan ilmu akidah atau lebih tepat lagi ilmu kalam, karena tidak sedikit ilmu kalam yang masuk dalam ilmu ushul fikih. Kita tahu ilmu kalam pun tidak lepas dari banyak perbincangan di kalangan ulama tentang bahayanya, karena merusak akidah dan lain sebagainya. Dari sisi ini kita memandang bahwa ushul fikih adalah ilmu yang bisa membuat orang akidahnya menyimpang. Tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa di sisi lain ilmu ushul fikih memiliki peran yang signifikan dalam membenahi dan meluruskan akidah. Jika kita memahami pernyataan sebelumnya, tentu kita bertanya-tanya, bagaimana hal itu bisa terjadi? Oleh karenanya, kita perlu membagi pembahasan ini kita bagi menjadi dua bagian, bagian pertama adalah agar kita mengetahui benarkan ilmu ushul fikih merupakan ilmu yang memiliki hubungan erat dengan ilmu akidah? Setelah itu di bagian kedua kita akan mencermati bagaimana ilmu ushul fikih justru bisa digunakan sebagai sarana yang tepat dalam memperbaiki akidah Pertama Benarkah ushul fikih adalah ilmu yang merusak akidah? Perlu diketahui bahwa para ahli ushul dari kalangan Ahlus Sunnah sangat banyak dan karya mereka pun banyak, baik mereka tuangkan dalam kitab ushul fikih secara khusus atau mereka tuangkan di sela-sela kitab mereka dalam hadits, fikih, akidah maupun tafsir. Contohnya Raudhatun Nadzir karya Ibnu Qudamah, Qawathi’ Al-Adillah karya As-Sam’ani, Al-Musawwadah karya keluara Taimiyah, I’lam Al-Muwaqqi’in karya Ibnu Qayyim, Syarh Kaukabul Munir karya Ibnu Najjar Al-Futuhi dan lainnya. Bahkan kita semua tahu bahwa yang pertama kali menulis kitab dalam ushul fikih adalah Imam Syafi’i yang dikenal dengan Ar-Risalah. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata “Pembahasan dalam ushul fikih dan pembagiannya kepada Kitab, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad serta pembahasan sisi pendalilan dalil-dalil syar’i pada suatu hukum adalah perkara yang sudah dikenal sejak zaman para sahabat Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam dan para tabi’in serta para imam kaum muslimin, mereka dahulu lebih ahli dengan bidang ilmu ini dan bidang-bidang ilmu agama lainnya daripada orang setelah mereka. Umar bin Khatthab pernah menulis surat kepada Syuraih yang berisi perintah hukumilah dengan kitabullah, jika tidak ada maka dengan sunnah Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam, jika tidak ada maka dengan ijma’, dalam lafadz lain dengan keputusan orang-orang shalih, jika tidak ada maka jika engkau mau berijtihadlah dengan pendapatmu. Demikian juga yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas dan hadits Mu’adz adalah salah satu hadits yang paling terkenal di kalangan ulama ushul”. [Majmu’ Fatawa 20/401] Ada sejumlah usaha yang dilakukan untuk melakukan pembenahan ushul fikih dari sejumlah penyimpangan akidah Menyaring pembahasan ushul fikih secara khusus yang sesuai dengan ahlus-sunnah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Husain Al-Jaizani dalam kitab beliau “Ma’alim Fi Ushul Al-Fiqh Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah” kitab ini memiliki mukaddimah yang sangat penting untuk ditelaah oleh siapapun yang ingin memulai belajar ushul fikih, sekalipun kitab sendiri ini jika dihitung sebagai kitab ushul fikih yang murni perlu pembahasan lebih lanjut. Menyaring pembahasan-pembahasan ushul fikih yang berhubungan antara ilmu ushul fikih dan ilmu akidah, sehingga mudah diklasifikasikan pembahasan apa saja dalam ilmu ushul fikih yang ada hubungannya dengan ilmu akidah. Sebagaimana dalam sejumlah kitab berikut Masa’il Ushul Ad-Din Al-Mabhutsah fi Ilmi Ushul Al-Fiqh, Dr. Khalid Abdul Lathif Kitab ini terdiri dari 4 jilid, disertasi doktoral yang dibimbing oleh Dr. Ali bin Nashir Faqihi dan Dr. Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi, diuji oleh Al-Allamah Abdullah Al-Ghudayyan anggota hai’ah kibar ulama dan Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Al-Masail Al-Musytarakah Baina Ushul Al-Fiqh wa Ushul Ad-Din, karya Dr. Muhammad Al-Arusi Abdul Qadir Beliau banyak bersandar pada ucapan-ucapan syaikhul islam Ibnu Taimiyah. Akhtha’ Al-Ushuliyyin fi Al-Aqidah, karya Abu Muhammad Shalih Al-Adani dan diberi pengantar oleh Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri Kitab ini mengumpulkan sejumlah kesalahan akidah yang dilakukan oleh para ahli ushul fikih beserta bantahannya. Dibahas dalam kitab tersebut di antaranya Bahaya ilmu kalam, pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, pembagian agama menjadi ushul dan furu’, khilaf para ulama ushul dalam masalah kalam, khilaf ulama ushul tentang hukmah dan ta’lil, kesalahan ulama ushul yang tidak membedakan mahabbah dan iradah, dan seterusnya. Hanya saja kitab ini seharusnya ditulis oleh seorang yang mutakhashsis atau spesialis di bidang ushul fikih agar lebih kokoh. kitab ushul fikih pada sebagian kelompok, seperti ushul fikih menurut mu’tazilah. Sebagaimana dilakukan oleh Dr. Ali Ad-Dhuwaihi dalam kitab beliau yang berjudul “Aara’ Al-Mu’tazilah Al-Ushuliyah”. Yang berhak membahas korelasi antara dua ilmu semacam ini adalah seorang yang menguasai dua ilmu tersebut dengan baik, dalam hal ini adalah ilmu ushul fikih dan ilmu akidah, ia harus memahami metode keduanya, kitab-kitabnya, akidah-akidah penulisnya, istilah-istilah masing-masing bidang keilmuan tersebut dan seluk-beluknya. Karena jika tidak demikian, bisa saja ia tidak memahami istilah tertentu sehingga mendatangkan hal-hal yang aneh, membuat ungkapan-ungkapan yang tidak pernah dikenal sebelumnya, menempatkan kalam para ulama ushul bukan pada tempatnya dan hal-hal lain yang tidak dikehendaki. Terlebih, ushul fikih adalah ilmu yang luas dan tidak berada pada satu corak tertentu, bisa kita perhatikan Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Fakhr Ar-Razi dan Al-Amidi, mereka semua ahli ushul fikih dari satu madzhab fikih yang sama, yaitu syafi’iyah, akan tetapi kita bisa menjumpai mereka banyak berbeda pendapat dalam masalah-masalah ushul fikih. Kedua Bagaimana ilmu ushul fikih bisa menjadi sarana dalam memperbaiki akidah? Ini adalah faedah penting yang sudah terbukti dengan praktik nyata, yang menyimpulkan bahwa ilmu ini sebenarnya memiliki pengaruh positif yang besar dalam memperbaiki akidah, terlepas dari perkataan sebagian kalangan “Ilmu ini adalah produk orang-orang mu’tazilah” dan semisalnya yang membuat orang lari dari ilmu ini. Akan tetapi sudah terbukti dengan sejumlah daurah yang diadakan oleh berbagai pihak dan berbagai macam lembaga, misalnya dari ha’iah khairiyah lembaga sosial maupun rabithah alam islami atau dari pihak universitas-universitas tertentu. Di antaranya adalah daurah musim panas yang diadakan di berbagai negara muslim yang di antaranya muslim menjadi minoritas, di tempat yang tersebar tasawuf, menjamur berbagai praktik kesyirikan, mereka memiliki kecintaan pada agama islam ini tetapi mereka terjerumus dalam berbagai kebid’ahan dan perbuatan yang menyimpang. Mereka mempunyai guru-guru yang menjadi rujukan dan pengagungan yang terkadang berlebihan. Jika kita hadapi mereka secara langsung, bisa jadi mereka langsung mengusir dan ini kerap terjadi dalam beberapa kasus, karena mereka menganggap pendatang tersebut ingin mengganti agama yang sudah mereka kenal sejak zaman dahulu. Akan tetapi ketika kita ajarkan kaidah-kaidah umum dan kita arahkan mereka agar menghormati dalil, menyadarkan mereka agar menjadikan dalil sebagai rujukan, yaitu dalil-dalil yang wajib ditanyakan kepada siapapun yang berfatwa atau berbicara tentang suatu hukum. Dalil tentunya kita ketahui berupa Kitabullah, Sunnah Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam, Ijma’ dan Qiyas. Sehingga para pemuda yang belajar dalam daurah-daurah tersebut kemudian melontarkan sejumlah tanda tanya kepada guru-guru mereka, dan guru mereka pun bertanya-tanya pada diri mereka sendiri, karena sebagian manusia jika sudah terbiasa dengan kebiasaan tertentu dalam waktu yang lama tidak pernah berhenti sejenak untuk berpikir “apakah yang saya lakukan ini ada dalilnya?” Dari sisi lain, terkadang mereka menemukan permasalahan pada sebagian dalil, misalnya dalam hadits tertentu ternyata haditsnya lemah yang menjadikan tidak bisa diterima, atau penerapan qiyas padahal dalam masalah aqidah padahal tidak ada qiyas di sana karena tauqifi, atau terkadang mereka berdalil dengan hadits shahih tetapi mereka mentakwil dengan cara yang tidak benar dan tidak terpenuhi syarat takwil shahih. Ketika mereka menerapkan pelajaran-pelajaran ushul fikih ini, maka mereka dengan sendirinya memperbaiki kesalahan mereka dan lebih mudah menerima kebenaran setelahnya. Maka, pernyataan bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang menjauhkan manusia dari ketundukan terhadap hukum-hukum syariat dan akidah perlu ditinjau ulang. Karena faktanya bisa membenahi dan mengokohkan akidah yang benar dan bagaimana mencapainya. Faedah ini disampaikan oleh Dr. Iyadh As-Sulami dalam cuplikan muhadharah beliau di sini Fida’ Munadzir Abdul Lathif OZf0Cyc.